Nataconnexindo.com, Tangerang – Investasi menjadi kata kunci yang harus Anda perisapkan dalam menghadapi masa depan. Banyak sekali investasi yang bisa Anda pilih namun properti tetap menjadi salah satu investasi favorit baik bagi generasi Millennial ataupun generasi sebelumnya.
Banyak kisah sukses anak muda yang berinvestasi properti. Dari properti yang sengaja diendapkan untuk menunggu harga naik dan dijual kembali sampai properti yang disewakan untuk mendapatkan passive income. Apalagi di zaman serba digital seperti saat ini, jual beli dan sewa properti dapat dengan mudah dilakukan melalui iklan digital.
Namun seperti investasi di bidang lainnya, Anda juga harus memahami dengan baik seluk beluk investasi properti. Mulai dari risiko-risiko yang ada saat memutuskan berinvestasi properti hingga waktu yang tepat mulai berinvestasi.
Untuk itu, Anda dapat mulai mempelajari siklus investasi properti yang sering terjadi secara umum agar Anda mampu melihat dan membidik kesempatan terbaik saat berinvestasi pada sebuah properti. Dalam artikel kali ini, Nata Connexindo akan membagikan informasi mengenai 4 siklus utama yang sering terjadi di dunia properti. Sima selengkapnya di sini.
Siklus pertama: Fase Pasar Aktif (Active Market)
Fase ini ditandai dengan melimpahnya permintaan properti (demand) yang tidak disertai oleh tersedianya properti (supply). Karena proses pembangunan properti yang memakan waktu, permintaan yang terus menerus melimpah menyebabkan ketidak seimbangan antara permintaan dan ketersediaan. Hal tersebut membuat harga properti terus naik mencapai harga tertinggi. Fase ini terjadi pada saat suku bunga dan inflasi rendah, sehingga peredaran uang di masyarakat sangat tiggi. Fase ini disebut sebagai seller’s market karena pengembang dan penjual properti adalah raja yang menentukan tingkat harga properti yang disediakan.
Indonesia telah mengalami fase Pasar Aktif pada tahun 2012 sampai dengan 2013. Bisnis properti mengalami peningkatan signifikan dimana harga properti melambung sangat tinggi akibat dari permintaan pasar yang tinggi setelah dampak resesi ekonomi 2008 mulai membaik dan meningkatnya kalangan menengah atas dengan daya beli tinggi. Fase ini juga ditandai dengan suku bunga kredit sehingga memicu booming properti. Pada fase ini, pengembang dan penjual menjadi raja dalam penentuan haga properti.
Siklus kedua: Pasar Lembut (Soft Market)
Fase ini ditandai dengan seimbangnya permintaan dan ketersediaan properti (supply and demand). Peningkatan permintaan terhadap proeprti tetap naik namun hal tersebut dibarengi oleh peningkatan jumlah properti yang siap jual, sehingga pasar properti mengalami keseimbangan. Mekanisme harga properti menjadi lebih seimbang karena terjadi persaingan antara pengembang untuk menawarkan propertinya kepada para pembeli properti. Pasar ini disebut juga sebagai pasar seimbang (equilibrium market), karena kenaikan harga akan mengakibatkan turunnya permintaan dan sebaliknya penurunan harga akan mengakibatkan meningkatnya permintaan.
Sebagai contoh di Indonesia, pada tahun 2014 Bank Indonesia memperketat aturan kredit. Terjadi perlambatan ekonomi, namun permintaan di pasar properti masih tinggi. Sehingga laju pertumbuhan penjualan properti menjadi melambat. Maka akan segera terjadi fase berikutnya.
Fase kegita: Pasar Bebal (Dull Market)
Akibat perlambatan ekonomi, inflasi yang merangkak tinggi, dan pengetatan suku bunga membuat pasar properti menjadi lesu. Akibatnya terjadi penurunan permintaan yang tidak disertai dengan penurunan ketersediaan. Dalam kondisi demikian, terjadi penurunan harga di semua sektor properti. Dalam kondisi ini, biasanya pengembang akan memberikan banyak insentif dan kemudahan untuk mendongkrak kinerja penjualan propertinya, sehingga pembeli akan menikmati keuntungan dengan turunnya harga properti. Oleh karena itu, kondisi ini disebut juga sebagai (buyer’s market).
Di Indonesia sendiri, kondisi ini terjadi pada semeter pertama tahun 2016 dimana pengembang banyak menghentikan proyeknya, dan Bank Indonesia melakukan pengetatan suku bungan untuk mengantisipasi terjadinya bubble property. Sehingga banyak pengembang yang memilih wait and see daripada mengambil resiko. Bank Indonesia membuat kebijakan baru relaksasi plafon kredit, sehingga uang muka yang dibayarkan pembeli menjadi lebih kecil.
Fase keempat: Pasar Lemah (Weak Market)
Fase ini adalah fase terakhir dari siklus properti. Dalam fase ini terjadi penurunan permintaan yang disertai oleh penurunan ketersediaan properti. Fase ini terjadi setelah masa resesi berakhir dan kondisi perkenomian kembali menuju pemulihan. Dalam fase ini suku bunga dan aturan kredit pemilikan rumah (KPR) diperlunak untuk mendongkrak laju pertumbuhan properti.
Fase ini terjadi selama tahun 2016 sampai tahun 2017. Pasar properti mengalami kelesuan, dan proyek-proyek pengembang banyak terhenti. Namun pada tahun 2018, hasil kebijakan Pemerintah menurunkan plafon kredit properti menunjukan hasil dengan mulai bergairahnya bisnis properti. Kemudahan yang ditawarkan pengembang juga menjadi faktor pemicu pertumbuhan properti. Hal ini diprediksi akan menaikan pertumbuhan properti dan mengembalikan siklus properti ke fase pertamanya.
Pada tahun 2021 ini pasca dunia ekonomi terdampak pandemi Covid-19, akan diprediksi mendandai kembalinya fase pasar properti ke fase Active Market. Namun Anda juga tetap harus memperhatikan berbagai informasi mengenai dunia properti di website kami agar tidak ketinggalan informasi berharga.
Dengan memperhatikan siklus pasar properti diatas, sebetulnya tren pasar properti mudah untuk dibaca. Hal ini dapat memberikan peluang keuntungan bagi investor properti yang jeli membaca siklus pasar properti. Oleh karena itu, Anda harus mampu membaca kapan saatnya membeli, menjual, atau menahan properti yang Anda miliki. (ADR)