Nataconnexindo.com, Tangerang – Tak dapat dipungkiri lagi bahwa tahun 2020 menjadi tahun yang sangat berat bagi Industri Properti. Tahun tersebut adalah tahun Pandemi di mana penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai tindakan preventif penyebaran Covid-19 telah membatasi sebagian besar aktivitas ekonomi masyarakat Indonesia.
Akibatnya, dampak yang cukup berat dirasakan pada sektor ekonomi. Secara umum, kelesuan dibidang ekonomi hampir dirasakan merata pada semua sektor. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi atau minus selama tiga quartal berturut-turut. Badan Pusat Statistik ( BPS) melaporkan bahwa produk domestik bruto (PDB) RI pada kuartal III-2020 minus 3,49 persen (year on year/yoy).
Pada kuartal III tersebut Indonesia telah resmi mengalami kontraksi selama tiga quartal berturut-turut yang juga dapat ditafsirkan sebagai fase resesi ekonomi. Hal ini terlihat setelah pada kuartal II-2020 ekonomi RI juga terkonstraksi alias negatif. Adapun secara kuartalan, ekonomi sudah mulai tumbuh sebesar 5,05 persen dan secara kumulatif masih terkontraksi 2,03 persen.
Dibandingkan kuartal II-2020, realisasi pertumbuhan ekonomi tersebut membaik. Pasalnya, pada kuartal II lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni mencapai 5,32 persen.
Dampak pelemahan ekonomi selama tahun 2020 tersebut turut dirasakan di sektor properti. Dampak tersebut dapat dilihat dari merosotnya angka penjualan properti selama tahun 2020 yang lalu. Penjualan perumahan sepanjang 2020 di Jabodebek–Banten sebagai benchmark perumahan nasional anjlok 31,8 persen dibandingkan dengan penjualan pada 2019 dan merupakan tingkat penjualan terendah sejak siklus properti melambat pada 2013.
Menurut CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, penjualan segmen harga di bawah Rp300 juta mengalami tekanan terbesar dengan penurunan sepanjang 2020 sebesar 42,9 persen, diikuti segmen rumah di harga lebih dari Rp2 miliar yang anjlok 41,1 persen.
Secara umum sektor perumahan penurunan penjualan hingga 50 % sampai 60%. Sementara sektor non perumahan, termasuk perhotelan mengalamai penurunan angka penjualan hingga 95%. Maka tak heran, pada tahun 2020 lalu, banyak pengembang merubah strateginya menjadi strategi untuk bertahan dengan melakukan berbagai pemotongan pengeluaran atau cashflow.
Salah satu di antaranya adalah penghentian sementara pengerjaan proyek-proyek berjalan, pemotongan anggaran pada sektor yang kurang penting, dan lain sebagainya.
Tahun 2021 Menjadi Tahun Penuh Harapan
Memasuki tahun 2021 ini, Pemerintah terus berupayan menormalisasi seluruh aspek kehidupan. Meski peningkatan kasus Covid-19 terus terjadi, Pemerintah tengah mengupayakan distribusi vaksin ke berbagai golongan masyarakat. Hal ini memberikan sentimen positif pada para pelaku ekonomi di Indonesia.
Keberhasilan program vaksinasi diyakini akan menjadi game changer bagi pemulihan ekonomi nasional. Hal tersebut dikarenakan dampak vaksinasi tidak hanya terasa bagi penanganan Covid-19 semata, namun juga menjadi faktor penentu dalam keberhasilan pemulihan ekonomi nasional.
Keberhasilan vaksinasi dapat mempercepat pengendalian penyebaran Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, tetapi sebaliknya kegagalan vaksinasi akan membuat Covid-19 semakin tidak terkendali, hal ini akan membuat kita semakin sulit untuk bisa segera bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Oleh karena itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa strategi kebijakan akan difokuskan pada empat faktor utama penggerak perekonomian yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, dan ekspor.
Seperti dikutip dalam ekonomi.bisnis.com, Menko Airlangga mengatakan bahwa Pemerintah terus mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) pada tahun 2021 yang mencapai Rp699,4 triliun atau sekitar US$49,6 miliar. Program tersebut mencakup sektor kesehatan dan perlindungan sosial, dukungan UMKM dan pembiayaan perusahaan, serta insentif bisnis. Selain itu, terdapat berbagai program prioritas dalam upaya mendorong penciptaan lapangan kerja.
Pada sektor properti, Pemerintah terus memberikan berbagai stimulus dan insentif untuk mendorong permintaan terhadap produk properti. Hal ini terlihat dari sejumlah kebijakan relaksasi yang membanjiri sektor properti sejak pertengahan quartal pertama tahun 2021. Hal itu menandakan perhatian yang tinggi dari pemerintah untuk mendongkrak sektor properti di tengah pandemi.
Beberapa kebijakan yang memberikan optimisme luar biasa bagi sektor properti dimulai dari pemangkasan kembali BI 7-Days Repo Rate menjadi 3,5 persen pada 18 Februari 2021. Bank Indonesia juga menetapkan uang muka 0 persen untuk kredit properti. Kebiajakan selanjutnya adalah penghapus PPN untuk pembelian properti di bawah harga Rp. 2 Milyar, dan pemotongan PPN 50% untuk properti diatas Rp. 2 Milyar dan di bawah Rp. 5 Milyar. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga KPR bagi masyarakat terdampak Covid-19.
Harga Properti Banten dan Jabodetabek Tetap Positif
Menjelang akhir Quartal I 2021, suplai properti residensial terbesar masih datang dari DKI Jakarta, yakni sebesar 32% dari total suplai nasional. Sementara itu, Jawa Barat menyumbang suplai sebesar 30%, diikuti Banten (17%), dan Jawa Timur (12%). Suplai properti tersebut menunjukan bahwa beberapa proyek tela selesai siap dipasarkan kepada publik konsumen properti.
Hal ini tentu akan mempengaruhi harga properti di pasaran. Indeks harga properti untuk Jawa Barat pada kuartal keempat tahun lalu mengalami kenaikan sebesar 19,5% (QoQ), sekaligus yang terbesar di antara provinsi lainnya. Banten mengalami kenaikan sebesar 13%, sedangkan DKI Jakarta juga mengalami kenaikan yang hampir sama besarnya yakni sebesar 12,9% (QoQ). Peningkatan suplai juga terjadi di Jawa Timur yakni sebesar 9% (QoQ).
Pada kuartal I tahun 2021 ini, indeks harga properti secara nasional turun secara kuartalan pada periode low-season. Namun, beberapa provinsi kunci seperti Banten dan Jawa Barat tetap menunjukkan kenaikan, masing-masing 1,1% dan 1,8% secara kuartalan.
Namun, ada tiga wilayah di Jabodetabek yang cukup resisten terhadap dampak low-season. Pertumbuhan yang cukup signifikan ini terutama disebabkan oleh naiknya harga untuk tipe rumah tapak. Depok mengalami kenaikan sebesar 7,5% (QoQ). Kenaikan terjadi baik di segmen apartemen maupun rumah tapak. Kenaikan indeks harga yang cukup tinggi juga terjadi di Kabupaten Bekasi, yakni sebesar 6,5% (QoQ). Wilayah lain yang mengalami kenaikan adalah Kota Tangerang dengan kenaikan sebesar 2,3% pada kuartal keempat 2020 dibandingkan kuartal sebelumnya.
Penguatan harga tersebut menunjukan bahwa permintaan properti terus meningkat begitu juga dengan suplai properti di kawasan benchmark properti Indonesia. Hal ini tentu menjadi kabar baik karena sebagai kawasan benchmark properti di Indonesia, Banten dan Jabodetabek dapat mempengaruhi sentimen para pelaku industri properti. (ADR).