Nataconnexindo.com, Tangerang – Penetrasi Internet di tengah masyarakat Indonesia yang sangat tinggi menjadikan platform digital sebagai platform terbesar penyebaran informasi. Namun, tidak semua informasi yang tersebar di media digital merupakan informasi yang benar. Begitu juga tidak hanya berfungsi sebagai perangkat distribusi informasi, platform digital mulai mengambil peran dalam berbagai jenis transaksi.
Tingginya penetrasi Internet tersebut menyebabkan platform digital sebagai salah satu platform yang sangat rawan dijadikan perangkat untuk melakukan kejahatan. Menurut laporan yang dirilis oleh lembaga yang terkait dengan berbagai isu digital, Hoostuite, pada tahun 2021 ini, Pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 lalu. Total jumlah penduduk Indonesia sendiri saat ini adalah 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen.
Untuk mencegah berbagai tindak kejahatan pada platform digital, Pemerintah telah mengesahkan seperangkat Undang-undang yang mengatur persebaran informasi dan transaksi yang dilakukan secara elektronik. Undang-undang yang cukup menuai kontroversi tersebut adalah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 atau lebih dikenal sebagai UU ITE.
Pada tanggal 23 Februari 2021 yang lalu, Kepolisian Republik Indonesia meluncurkan program Virtual Police untuk mendukung penegakan UU ITE pada ranah digital. Virtual police adalah unit yang digagas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai respons atas arahan Presiden Joko Widodo agar polisi hati-hati menerapkan pasal-pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Bagaimana tugas dan cara kerja Virtual Police? Dan apa saja yang mungkin termasuk pelanggaran terhadap UU ITE. Dalam artikel ini akan dibahas satu persatu.
Tugas dan Cara Kerja Virtual Police
Dalam penegakan ketertiban masyarakat di ruang digital, Virtual Police memiliki wewenang untuk melakukan teguran kepada masyarakat yang mengunggah konten-konten yang bersifat berita bohong (hoax), penghinaan, pelecehan, hingga bullying. Dalam melakukan wewenangnya nantinya virtual police tersebut akan berpatroli di dunia maya untuk menegur masyarakat pengguna media sosial jika ada potensi pelanggaran UU ITE. Dalam fungsi ini virtual police akan bekerja terutama untuk mengimbau masyarakat.
Adapun jika ada penindakan maka akan dilakukan oleh polisi siber atau cyber police. Jika ada potensi tindak pidana, unggahan konten itu akan diserahkan ke Direktur Tindak Pidana Siber atau pejabat yang ditunjuk. Setelah pejabat setuju, virtual police akan mengirimkan peringatan kepada pemilik akun. Setelah pemberitahuan kedua tidak ada perubahan dan pihak yang merasa dirugikan melapor, maka pihak kepolisian akan mengedepankan mediasi antara pelapor dan terlapor. Sampai hari ini Virual Police telah melakukan peneguran pada lebih dari 105 akun media sosial yang mengunggah konten atau komentar bernada SARA.
Untuk kasus-kasus penipuan transaksi elektronik Virtual Police akan melakukan pemeriksaan terhadap akun yang diduga melakukan penipuan setelah adanya laporan dari pihak yang dirugikan. Untuk penindakan penipuan transaksi elektronik akan dilimpahkan kepada Barsekrim divisi siber yang menangani tindak pidana yang terjadi di ruang-ruang digital. Tercatat hingga hari ini telah ada sebanyak 980 laporan pemesanan barang dari situs ecommerce dan marketplace yang terindikasi masuk ke ranah penipuan transaksi elektronik.
Bentuk-bentuk Pelanggaran UU ITE di Media Sosial
Untuk menjaga agar tindak tanduk dalam bermedia sosial tidak melanggar UU ITE, sebaiknya masyarakat memahami apa saja yang termasuk kedalam pelanggaran UU ITE. Setidaknya ada 6 jenis pelanggaran yang sering dilakukan masyarakat ketika bermedia sosial.
Pelanggaran Hak Cipta
Pelanggaran pertama adalah pelanggaran terhadap Hak Cipta sesuai dengan Pasal 34 UU ITE Tahun 2008. Pelanggaran hak cipta adalah penggunaan karya yang tanpa ijin, atau tanpa sepengetahuan dan melanggar hak ekslusif pemilik cipta. Konten creator yang mengunggah di channel YouTube juga harus hati-hati agar tidak dihapus karena melanggar hak cipta.
Pelanggaran Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik
Kedua adalah pelanggaran Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik sesuai dengan Pasal 27 Ayat 3. Kasus ini adalah salah satu yang paling sering terjadi di Indonesia. Seringkali pengguna media sosial memberitakan tentang keburukan suatu institusi ataupun seseorang yang akhirnya membuat pengguna dituntut. Kasus tersebut telah banyak terjadi dan menjerat sebagian dari masyarakat Indonesia.
Pelanggaran Ujaran Kebencian
Ketiga adalah pelanggaran tentang Ujaran Kebencian sesuai dengan Pasal 28 Ayat 2. Kasus mengenai pelenggaran ujian kebencian ini menjadi salah satu kasus yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Berbagai konten dan komentar bernada SARA sering kali menjadi makanan sehari-hari pengguna media sosial, padahal komen bernada negative tersebut telah masuk ke dalam ranah pelanggaran UU ITE.
Pelanggaran Perjudian
Keempat adalah pelanggaran tentang Muatan Perjudian sesuai dengan Pasal 27 Ayat 2. Dengan semakin berkembangnya teknologi digital maka perjudian yang menggunakan platform ini terus tumbuh. Banyak sekali modus operandi perjudian yang kerap digunakan oleh masyarakat untuk mencari keuntungan dengan cepat namun terkadang malah menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Oleh karena itu, Perjudian menjadi kewenangan yang dipegang oleh polisi siber dan virtual police.
Pelanggaran Berita Bohong
Kelima adalah pelanggaran tentang Berita Bohong atau Hoax sesuai dengan Pasal 28 ayat 1. Banyak definisi mengenai hoax atau berita bohong, salah satunya yang mendefinisikan hoax sebagai informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. Kasus pelanggaran UU ITE yang berkaitan dengan penyebaran berita bohong juga merupakan salah satu kasus yang paling sering ditemukan di tengah masyarakat Indonesia.
Pelanggaran Tentang Peretasan
Keenam adalah pelanggaran tentang Peretasan sesuai dengan Pasal 30. Kasus peretasan pada Platform Digital kerap terjadi. Peretasan merupakan aksi sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses sistem komputer dan/atau sistem elektronik seperti akun media sosial atau website tertentu dengan tujuan apapun, Anda bisa dijerat pasal ini. Sanksinya beragam tergantung perbuatannya, mulai dari penjara antara 6-8 tahun dan denda sebanyak 600-800 juta. (ADR).